Sobirin dan Rohana.

Sobirin berhenti berjalan sejenak, matanya tertuju dengan pesan yang baru saja masuk ke ponsel pintarnya. Ia bergegas menuju tempat parkir, memacu cepat kendaraannya membelah jalanan yang mulai lengang. Setengah jam kemudian, Sobirin sudah berada di halaman sebuah rumah yang berada pada sebuah cluster hunian komersial. Menemui Rohana, orang yang tadi mengirmkan pesan yang membuat ia bergegas. Nyaris tengah malam saat keduanya mulai bicara. Sudah satu bulan sejak terakhir mereka bertemu dan masih tak ada kata sepakat antara keduanya. Rohana berkeras bercerai, sementara Sobirin masih merasa ada kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka.

“Tolonglah, pikirkan lagi. Aku gk mau kita pisah, tolong pikirkan Rahmat..”

“Rahmat ikut Aku!” ketus Rohana memotong pembicaraan Sobirin.

“Aku salah, aku tahu, gimana caranya supaya kamu bisa maafin aku? aku mau berubah.”

Rohana hanya menggeleng pelan, ia bangkit menuju kamar, dan membawa Rahmat menuju mobilnya.

Di halaman rumah, Sobirin sebisa mungkin tetap membujuk istrinya.

“Aku kemari hanya untuk mengantarkan surat panggilan sidang, aku taruh di meja TV”

Rohana menyalakan mobilnya, meninggalkan rumah yang mereka cicil berdua sejak menikah. Namun, sejak Rohana merasa mulai tak nyaman dengan kebiasaan Sobirin yang selalu lebih mementingkan hobinya, Rohana memilih untuk kembali ke rumah orang tuanya. Sejak itu hubungan mereka tak kunjung membaik.

Seminggu menuju sidang perceraian pertama, Sobirin sungguh tak tenang. Tak lagi terpikir medan berlumpur yang menggairahkan hasratnya, tak lagi Ia ingat untuk mengganti oli tunggangan off-road-nya. Ia hanya ingin berleha, merebahkan diri dan memejamkan mata hingga senja menutup hari. Akhir pekan tiba, Sobirin akhirnya mengarahkan mobilnya menuju ke daerah pesisir, menuju sebuah resort yang ia temukan dari rekomendasi mesin pencari. Mencoba menyepi dan menepikan diri menuju tiga hari sidang perdana perceraiannya dengan Rohana.

Sobirin memperhatikan iri sepasang kekasih yang bercanda mesra di pinggir kolam renang, Ia membayangkan dirinyalah sang pria, melupakan dunia dan hanya fokus dengan sang kekasih, apalagi sang wanita terlihat sangat mirip dengan istrinya, profil wajahnya, lekuk tubuhnya, panjang dan indah rambutnya. Sobirin seketika terkesiap,

“Rohana!” Setengah berteriak Sobirin mengusap matanya, mengernyitkan dahi dan nafasnya tercekat…

“Rohana!” di luar kendali, Sobirin sudah setengah berlari menghampiri pasangan tersebut, matanya nanar, nafasnya kini memburu, dadanya terasa sesak dengan semua yang ia saksikan. pasangan yang masih tak sadar dengan apa yang akan menimpa mereka masih berasyik masyuk.

“Rohana!” tegas suara Sobirin.

Rohana tersentak menyadari suara yang memanggilnya. Terkesiap, tubuhnya tiba-tiba kaku, aliran darahnya terasa berdesir cepat, kesadarannya dikejut seketika. Perlahan ia menoleh. Tatap mata sobirin lekat menatap dirinya, kebencian menguar dalam tatapan itu.

Teruntuk esok yang kian merenta.

Embun tak akan membenci mentari, meski panas menguapkan bulirnya setiap pagi.Pun, rembulan takkan bersungut bila fajar telah menyingsing, pertanda mentari untuk meninggi.
Raga kian merenta namun asa masih terjaga, menanti tiap titian masa untuk dapat bersama.
Hatimu seluas buana namun tak kutemukkan apapun disana. Sesuatu untukku, sesuatu untuk asaku
Aku embun dalam cakrawalamu, teruap hadir panas mentari. Tiada sesal, esok pagi aku kembali.

The world as I once knew

Membanggakan kebodohan, menuhankan pikiran, menyembah badan.

Silahkan tambahkan dengan semua yang kalian tahu. waktuku semakin sempit, bukan karena kutukan tapi akibat perbuatan. Kesempatan tidak datang berkali-kali tapi menjadi khianat berulang kali sudah cukup, aku diminta pulang dengan cara yang tidak pernah dibayangkan semua manusia normal. Tidak, aku tidak akan memutus nyawa dengan mematikan jasadku sendiri. Tuhan sungguh baik, menjemputku masih dengan cara yang sangat terhormat, tapi sungguh semua di luar nalar kita sebagai manusia normal.

Kepada semua yang mengenalku dan merasa pernah dikhianati, cuma ini kesempatanku meminta maaf, kita tidak mungkin dipertemukan lagi.

Aku berterima kasih kita pernah dipertemukan. aku belum menjadi hantu, aku masih bernafas seperti kalian semua, tapi ini menjadi kesempatan terakhirku.

Tuhan sungguh baik, memberikan kabar kepulanganku supaya aku diberi kesempatan menuliskan ini. Maaf dari kalian semua akan memudahkan jalan bagiku, Terimakasih, dan mohon maafkan Aku.

[Outline #1]

“Kamu makin cantik”

“Dan Kamu makin tua”

Keduanya tersenyum, tubuh keduanya makin merapat berpelukan dalam kamar tidur yang hening. Sepuluh tahun menikah dan belum memiliki keturunan tidak meyurutkan cinta keduanya. Pasangan yang berpaut usai lima belas tahun itu masih tetap setia, saling membangunkan saat subuh, siapapun yang bangun lebih dulu selalu menyiapkan sarapan untuk pasangannya. Perasaan keduanya tetap sama seperti saat pertama kali mereka mengucapkan ijab dan kabul.

Mata pasangan itu terpejam, perlahan mereka larut masuk ke alam mimpi masing – masing. Jauh masuk ke dalam kenyataan mimpi.

***

“Rum, sini ini kenalin Kak Tyo yang Bantuin mama di perkebunan. Ini Ningrum, anak bontot tante Yo masih kelas tiga SMP tapi sudah sok dewasa dah gak mau lagi di peluk – peluk” Tawa renyah Ibu Surtini diiringi langkah tergopoh Ningrum dengan wajahnya yang cemberut

“Rum, Kak Tyo ini pinter loh, klo kamu ada tugas matematika, biologi apa aja deh tar minta ajarin dia aja. Kalo dia gak mau tar bagian kebun dia mama potong” lagi – lagi Ibu Surtini tertawa lebar.

“Asal jangan cuma bisa ngajarin masalah alat reproduksi manusia aja ma” Ketus ningrum sambil berlalu.

Ibu Surtini menggeleng

“ya begitu itu nak kelakuannya, tante sampe ampun, guru – guru privat gak ada yang sanggup sama ningrum”

Tyo tertawa

“Oiya, jadi gimana kebun yang di Batuputu? kabarnya ada beberapa pohon yang patah kena angin kenceng kemaren y?”

………………

***

kak krmh ada pr

sender: Ningrum

pr apa?

sender: Tyo

matik

sender: Ningrum

Jam 7 krmh

sender: Tyo

 

“Rum, kalo tiap hari kamu minta kak Tyo ke rumah, nanti lama – lama dia minta mama bayar per jam. Lebih – lebih dari guru privat”

“Kan dulu mama yang nyuruh, kalo dia minta bayar gak pa pa, biar sekalian ningrum minta ajarin maen gitar”

. . . . . . . . . . . . . .

“Jadi lanjut SMA ke Jogja?”

“Iyalah, selesai ujian langsung berangkat”

“Kenapa gak SMA di sini aja rum?”

“yeee takut kangen y?”

“Dasar anak kecil, orang ngomong serius. Di sana siapa yang ngurusin kamu? bangun aja masih diteriakin dari pintu weee…”

“Bilang aja Kak Tyo takut kalo kangen kejauhan”

“koplak!”

.      .     .     .     .     .     .     .    .    .     .    .    .

hei anak kecil koplak, aku lagi di Jogja

sender: Tyo

ngapain?

sender: Ningrum

eh kmren yg triak2 ditelp nyrh kjogja siapa y?!

dijgja cm mmpir kok, mau ke sby bntr lg jlan

sender: Tyo

yeee gitu ya, awas kalo gak mampir!

sender: Ningrum

hahaha bcnda, gk kmn2 kok di jogja aja

sender: Tyo

aseek, plg sklah jemput y

sender: Ningrum

Males!

sender: Tyo

gitu y! y udah gk usah mampir

sender: Ningrum

haha udah ddpan sklh kok :p

sender: Tyo

>:D< (y)

sender: Ningrum

.              .                      .                     .                      .                      .                        .                .

“Kapan masuk sekolah?”

“minggu depan, semester akhir tar lagi lulus, gak berasa ya kak”

“Kuliah di mana? tetep di jogja?”

“maunya sih ke luar, boleh gak?

“Lah kok nanya saya, yang bayarin emakmu, yang kuliah kamu kok nanya saya”

“Ke Australi aah, biar makin jauh dari orang yang nyebelin”

“siapa?”

“nih yang di samping”

. . . . . . . .               . . . . . . .               . . . . . . .               . . . . . . .                 . . . . .. .           . . . . . . .

“Ma, kalo ningrum pacaran sama kak tyo gimana ya?”

“walah ningrum, usia kamu sama dia itu beda jauh, lah pacar kamu sekarang emang kenapa”

“Masih kelakuan abege banget ma, males”

“lah kamu juga kan masih SMA, rum. Gimana sih”

“cuma nanya sih ma”

“Lagian juga Tyo kan nganggep kamu udah adek sendiri, dia juga kalo nyari pacar ya yang sama – sama dewasa, yang siap nikah”

“cuma nanya maaaa, dah gak usah dibahas”

…………  ………….. ……….. ….. …………. ….. …………… ………. ….. ………………

anakkecilbawel

BUZZ!!!

BUZZ!!

wwooooiiiiiiiiii makkhhlukkk aneehhhh

Arestyo_profarm

wwooii

anakkecilbawel

paggeeeee dah sarapan blom?

Arestyo_profarm

sarapan palamu peyang, jam berapa ini?!

anakkecilbawel

stgh 7

Arestyo_profarm

kurangin 2 jam dodol

anakkecilbawel

oiya lupa :p dah tdr lg sna eh blm tdr y?

Arestyo_profarm

-_-‘

……………………….    ………………..   ………………………………   ……………………..   …………….   ……………   ……….

“Saya terima nikahnya, Ningrum binti Adiwiguna dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai”

“Bagaimana saksi – saksi?”

“sah”

“Sah”

“Alhamdulillah…..”

*****

“Pagi sayang, subuh, bangun “

Tyo mengerjap, tubuhnya masih lemah. Penyakit hati yang ia idap kembali kumat kemarin, semua urusan kebun terpaksa diserahkan ke mandor kepala, Pak Rahmat, orang kepercayaan Tyo. Ningrum membawa sebaskom air hangat untuk menyeka tubuh suaminya yang belum kuat berdiri.

“mau sarapan apa?”

senyum Tyo mengulas simpul, mata keduanya bertemu. Rasa cinta itu masih menggebu di hati keduanya. Ningrum mengecup pelan dahi suaminya. Mata lelaki 66 tahun itu berkaca – kaca

*****

“Kamu makin keriput”

“Tapi kamu masih cinta kan”

tubuh pasangan itu merapat seperti kedua mata mereka, mencoba untuk terlelap. Mata yang merapat dan cinta mereka yang makin tak terhingga. Subuh nanti salah satu dari mereka akan menyiapkan sarapan dan membangunkan pasangannya dengan kecupan lembut di dahi. Tidak mudah untuk tetap menjaga cinta selama 38 tahun menikah dan tetap tak mendapat keturunan.

—-

“Pagi sayang, mau sarapan apa?”

Tyo mengecup lembut dahi Ningrum, tubuh istrinya dingin. Tyo memejamkan mata, duduk terkulai lemas di samping kasur menggenggam tangan istrinya yang mulai kaku. Ningrum wafat dalam pelukannya, dengan senyum manis yang selalu Tyo ingat sejak pertama menikah.

Dingin angin subuh berdesir di antara daun – daun cendana yang tumbuh mengitari rumah. Rumah mereka yang dibangun di tengah kebun cendana yang sunyi semakin lengang, jangkrik mengeriyap nyaring, memberitakan kedukaan. Langit di ufuk timur mulai memerah.

****

Para pelayat telah lama meninggalkan rumah, beberapa orang tampak sibuk membereskan halaman depan rumah. Tyo merebahkan badan di kasur kamarnya, matanya terpejam, Ia mendekap erat foto Ningrum. Perlahan komposisi Moonlight Sonata dari Beethoven yang di putar Tyo mengalun di dalam kamar itu. Komposisi itu adalah kesukaan Ningrum, Ia suka mendengarkannya di teras belakang rumah setiap sore sambil menuggu suaminya pulang. Tiap sore pula seteko teh hangat menemani Tyo dan Ningrum di teras belakang, menyatukan cinta dan semua harapan mereka.

Moonlight sonata terus mengalun pelan, Tyo seperti merasakan kehadiran istrinya, mendekap hangat tubuhnya yang renta. Menggenggam tangannya yang keriput dengan erat. Bulir air mata Tyo menetes, sebaris doa keluar semoga Tuhan menyatukan mereka kembali dalam hadiratnya kelak, dan tetap bisa menyatukan cinta mereka nanti di surga-Nya.

Obrolan #1

Pembicaraan ini terjadi antara dua orang temen kantor, tempatnya di kantin. Disarikan dan ditulis ulang dari yang saya ingat 🙂

Temen 1 :Mengutuk, membenci, menghujat itu sudah menjadi kepandaian semua orang, kalo tidak mau disebut sebagai salah satu sifat dasar manusia. Mengutuk macet tapi sendirinya nyetir mobil yang ditumpangi sendirian. Macem bawa badan selebar jalan tapi marah sama bis yang dimuati lebih dari empat puluh orang. Gak kalah lucu pemerintahnya, panjang lebar ngomong mengatasi macet tapi regulasi penjualan kendaraan bermotor bukannya diperketat tapi dipermudah, malah menaikkan target penjualan setiap tahun. Ambivalen!. Kota asalmu juga, lucu, tiap tahun ribut banjir makin tinggi tapi daerah resapan ditimbun buat jadi perumahan.

Temen 2 :surprise, surprise, kaya yang ngomong paling bersih sendiri aja, kamu sadar gak semua yang kamu pake itu produknya kapitalis tapi ngakunya anti kapitalisme, anti kemapanan? knock knock knock.. rokokmu itu, memang merek lokal tapi tau kan klo sembilan puluh persen sahamnya sudah dimiliki asing? trus di kamar apartemenmu, air galon yang kamu minum tiap hari itu sudah bertentangan dengan UUD 45 apalagi dengan paham marxismu itu, tau? just admit that liberal economic system suits you, fits you exactly like a gear, baamm just like that, tolong garemnya dong. Bicara menolak tapi secara sadar  mengiyakan, apa itu namanya? bukan paradoks tapi munafik. and just like you said, mengutuk, menghujat, membenci itu sudah sifat dasar manusia, termasuk kamu.

Temen 1 : Aku sadar, sadar sesadar sadarnya yang kamu bilang tentang aku itu benar, i admit that! but, i lived inside the system without the ability to fight back, to resist and I have no allies. so the only thing i could do is spread the words, share the thought. build awareness around me setidaknya kalo kesadaran orang – orang di sekitarku sudah membaik, perlahan akan ada resistensi dari mereka minimal untuk hal – hal kecil, mengkritisi kebijakan pemerintah misalnya. Enak juga mi ayamnya.

Temen 2 : resistensi, resistensi, ujung – ujungnya ngomongin resureksi iya kan? serius, omonganmu sekarang makin gak bermutu. Nah sekarang klo kamu mau membangun kesadaran orang – orang di sekitar kamu trus apa yang sudah kamu lakukan selain ngoceh? dari dulu kamu selalu bilang kesadaran sosial muncul dari keadaan sosial terus apa lagi? perjuangan yang kamu elu elukan itu sekedar propaganda kosong teman, sekedar pengen eksis dibilang cerdas dan progresif, iya kan? akui saja.

Temen 1 : wo … wo woo… who the hell are you to judge me? ini tentang prinsip sodaraku, sikap hidup, hasilnya tidak terlihat dalam waktu sekejap.

Temen 2 :Benar! butuh waktu lama tapi setidaknya ada aksi nyata yang kamu lakuin selain ngomong sana ngomong sini, contoh, Ernesto Guevara tergugah hatinya setelah melihat kenyataan kondisi ekopol Amerika selatan saat perjalanannya mengelilingi benua itu, setelah itu ia menjadi orang yang sama sekali berbeda dari sebelumnya sampe mampu membangun perlawanan di sepanjang amerika latin dan sampe sekarang dikenal sebagai tokoh revolusioner. Mao pun seperti itu, dan kalo mau tau aslinya prinsip, tuh liat perseteruan dia dengan Liu Shaoqi soal garis revolusi itu baru soal prinsip, nah kamu? sekedar berteori kosong ngaku punya prinsip, prinsip yang mana? teori aja dapetnya dari buku.

Temen 1 : Ya kan setidaknya tidak manut saja, ada sikap kritis, percaya gak, dari obrolan kecil seperti ini saja, revolusi bisa terjadi kawan. yakinlah.

Temen 2 : Revolusi mbahmu, revolusi itu muncul dari tindakan sobat, T I N D A K A N. Revolusi tidak terjadi dari kasur. Revolusi dulu kebiasaan buruk lo, revolusi dulu diri lo baru ngomongin revolusi yang laen.

Latah bahasa #1

Celaka … celaka … kebiasaan mengganti PIN ATM tidak selamanya berdampak baik! Kartu saya ditelan tanpa basa basi oleh mesin ATM di kawasan Salemba pagi ini. Sudah menjadi kebiasaan bagi saya untuk selalu mengubah PIN ATM tiap satu bulan sekali, tapi pagi ini seolah – olah pikiran saya dikosongkan dan tanpa sadar memasukkan PIN lama tiga kali berturut turut sambil mengutuk mesin ATM yang tidak juga menerima akses kartu saya. Setelah tanda peringatan muncul dan kartu tertelan, saya tersadar baru saja kemarin malam melakukan penggantian PIN pada mesin di kawasan tempat saya tinggal.  Apa mau dikata, satu – satunya kartu ATM tersisa yang saya miliki lenyap karena kebodohan diri sendiri, untung saja di kantong masih ada selembar uang kertas sepuluh ribuan dan hanya butuh  dua kali naik angkot untuk tiba di apartemen.

Saat berada di dalam angkot kepala saya terus memikirkan ATM … ATM … ATM … anjungan tunai mandiri … automated teller machine … anjungan tunai mandiri … automated teller machine, betapa saya kagum dengan para pakar bahasa yang menemukan istilah yang pas sebagai padanan kata automated teller machine sehingga singkatan ATM tetap digunakan dalam bahasa Indonesia. Bayangkan saja jika saya yang disuruh mencari padanan katanya, mungkin yang terpikirkan adalah Mesin Kasir Otomatis, sehingga kita menyingkatnya menjadi MKO hehehe Jadi jika suatu saat kita bertemu orang asing dan mereka bertanya soal ATM kita akan kebingungan karena terbiasa dengan istilah MKO hahaha. Bukan perkara gampang menemukan padanan kata yang pas seperti itu, sayangnya sampai saat ini saya tidak mengetahui siapa orang yang berhasil memadankan dan membakukan istilah tersebut.

Dibalik kekaguman terhadap padanan kata itu, ada keresahan yang saya alami. Betapa saat ini kita, terutama kelas menengah yang hidup di kota – kota besar, sangat gemar menyelipkan istilah – istilah asing atau kosakata asing dalam percakapan sehari – hari. Bukan hal yang aneh lagi jika kita mendengan ada yang berkata – kata

“Harganya sih affordable

atau

“kayaknya proyek yang lu ajuin itu gak feasible

atau…

“sayangnya sampe saat ini belum available di sini”

apa susahnya mengganti kata affordable dengan terjangkau, feasible dengan kata layak dan available menjadi tersedia? Memang sudah rahasia umum jika penguasaan bahasa asing masih menjadi gengsi tersendiri di negeri kita, maklum saja jangankan bahasa internasional lain seperti Mandarin, Jerman atau Rusia, penguasaan Bahasa Inggris saja di Indonesia masih tergolong rendah. Jadi dengan menyelipkan sedikit kosakata asing seperti menjadi tanda bahwa yang berbicara fasih berbahasa asing.  Tapi sayangnya ternyata pengguna kosakata asing itupun ternyata penguasaan bahasa asingnya masih rendah, bahkan ada beberapa yang Bahasa Indonesia-nya saja masih kalang kabut hehehe. Sekedar menaikkan gengsi itu saja, sungguh di sayangkan ckckck.

Memang kita sadari atau tidak, dalam percakapan sehari – haripun kita tidak menggunakan Bahasa Indonesia dengna baik dan benar,bahkan dalam penulisan blog inipun saya akui tidak sepenuhnya berbahasa dengan baik dan benar. Begitu banyak terselip kata – kata daerah dan kosakata asing yang sudah seperti terbakukan ke dalam bahasa pergaulan sehari – hari. Namun, jika saja kita tidak awas dalam berbahasa, ada ketakutan dalam diri saya bahwa suatu hari Bahasa Indonesia akan semakin memudar, bukan saja karena kita terlalu latah berbahasa asing namun juga karena kebanggaan terhadap Bahasa Indonesia yang makin menurun. Mungkin ini salah satu penyakit laten pada diri bangsa ini, entah ada kaitannya atau tidak dengan lamanya penjajah bercokol di negeri kita, bangsa ini pengidap penyakit (maaf harus menggunakan bahasa asing hihihi) inferiority complex akut bin parah! selalu saja beranggapan diri ini tidak sesuai dengan standar masyarakat dunia. Segala sesuatu yang datang dari luar selalu dianggap lebih baik daripada apa yang dimiliki. Bukan sekali dua kali saya mengalami harus malu diajak teman yang terlalu antusias untuk ngobrol dengan “bule”, seolah – olah orang asing yang mereka lihat itu berderajat lebih tinggi dan pasti lebih dalam segala hal dibanding diri mereka sendiri, mental bangsa – bangsa jajahan, dan saya harus cengar cengir menerjemahkan pertanyaan – pertanyaan konyol mereka hahaha.

Syukurlah belakangan ini pemerintah sepertinya cukup tanggap dalam hal ini, makin banyak kosakata asli Indonesia yang diperkenalkan sebagai padanan kosakata asing. Misal unduh untuk kata download dan unggah untuk kata upload, cukup geli jika dulu kita sering mendengar ada teman yang minta fotonya di unggah ke jejaring sosial dengan menggunakan kata upload

“tolong aplotin (upload) foto kita kemaren ya” 🙂

sebetulnya kata – kata macam unggah dan unduh sudah ada sejak dulu dalam kosakata kita namun penggunaannya belum maksimal.

Kalo berkhayal atau memikirkan sesuatu dalam perjalan memang membuat waktu terasa berjalan sangat cepat. Angkot yang membawa saya sudah berada di depan kawasan apartemen tempat saya tinggal (bukan punya sendiri, biaya bulanan juga dibayarin hehehe), tersisa lima ribu rupiah di kantong cukuplah buat indomie rebus malam ini, besok ngantor nebeng temen terus minta anterin ke bank buat tarik uang tunai dan berharap dalam minggu ini punya waktu luang buat ngurusin ATM ke Palembang pphheewwwww

Di dalam unit, saya teringat sebuah proyek dari national geographic yang sangat ingin saya ikuti hingga saat ini. JIka saya tidak salah, proyek tersebut menelusuri punahnya sebuah bahasa di salah satu bagian afrika, saya lupa nama proyeknya. Bahasa saja bisa punah ckckck saya bergidik ngeri jika suatu hari nanti ternyata proyek tersebut dilakukan di Indonesia, meneliti punahnya Bahasa Indonesia hhiiiiii, semoga saja tidak akan pernah terjadi. wallahu’alam.

Pulau Pisang #1

Dingin, sampe subuh tadi Jakarta disiram air dari langit habis – habisan. Kata orang Februari memang puncak curah hujan, buat sebagian yang lain puncak kegalauan soalnya gak ada pasangan yang ngasih coklat pas tanggal empat belas hehehe. Hari ini baru tanggal tiga, dompet temen kantor masih tebel, keliatan dari roman mukanya waktu masuk ke kubikel masing – masing, plong, trus paper cup rame serakan di atas meja. Kalo tanggal mulai belasan dijamin kubikel pagi begini masih pada kosong, rame ngumpul deket mesin potokopi di seberang pantry ngaduk minuman panas racikan sendiri, entah kopi item, teh manis nyaris gak keliatan paper cup (Indonesianya apa y?) cafe yang isinya racikan kopi ala eropa kayak pagi ini. Kalopun ada paper cup nangkring di kubikel pagi pagi paling punya Adisti, tiap pagi dia emang selalu nenteng paper cup yang isinya coklat panas dari cafe deket kantor. Kalo aku pribadi, selalu bawa termos kopi sendiri lebih hemat dan panas sepanjang hari hehe.

Kantor ini isinya belasan orang, dijamin semuanya saling kenal, dari yang duduk paling pojok sampe yang posisinya paling strategis. Posisi strategis ditentukan dari sudut pandang menghadap Adisti, itu saja titik hehehe aku gak perlu jelasin maksud sudut pandangnya tapi yang jelas sepanjang hari kerja gak bakal terasa capek kalo bisa liat Adisti terus, dan posisi itu dimiliki oleh, beruntunglah orang itu, saya hahaha. Sebetulnya tidak ada yang terlalu istimewa dari Adisti, tapi berhubung cewek di kantor ini cuma tiga orang dan dua selain Adisti kadang – kadang lebih laki dari para lelaki di kantor maka ratu ruangan ini jelas jatuh secara mutlak ke Adisti. Dua orang cewek lagi selain Adis adalah Lupi dan Fie, terkadang bingung kalo harus membedakan cara memanggil dua makhluk ini, satu teriakan “ppiiii..” dijamin dua – duanya noleh, dan bukan kebetulan pula kalo keduanya lulus dari kampus yang sama dan sama – sama penggila kegiatan luar ruangan.

“buat elo” amplop coklat lebar yang di lemparkan lupi meleset, mulus mendarat di muka Rodi yang kebetulan lewat.

satu lagi makhluk ghaib yang bekerja di sini, dari nama saja kita bisa kenali kalo dia sudah gentayangan sejak jaman Belanda masih menjajah Indonesia.

“gue?” Rodi membolak balik amplo itu

“bukan ente bung, buat Tyo” Lupi menarik amplop besar itu dan menyerahkan ke pada yang bernama Tyo, hoho itulah aku. Makhluk paling kecil di sini, tapi dengan keberuntungan selebar langit hehehe

“Mantap” mukaku langsung sumringah begitu melihat isi amplop

“Pulau Pisang, Lampung, jatah Lo” senyum Lupi masih kalah cantik dibanding senyum pantai dari leaflet yang aku pegang.

“Ssiiaapp berangkat Bu Bos!”

kata kata dari Lupi udah gk ku gubris lagi, pikiranku langsung terbang ke Pulau Pisang. hoho macem castaway ke pedalaman, biar masih deket – deket dan gak terlalu eksotis tetap saja kesempatan mengasingkan diri ke Pulau terpencil jadi macem berkah untuk kami. Makhluk – makhluk yang biasa bebas dan karena jatah mesti masuk ke dalam kubikel di lantai dua puluh ditengah belantara Jakarta.

Amplop itu berisi penugasan seperti biasa, apa yang mesti dilakuin, apa yang mesti diambil apa yang mesti disiapkan siapa kontak selama di sana dan kepada siapa mesti ngelapor sekaligus dengan detil akomodasi dan segala tetek bengeknya. Mataku tiba – tiba melotot melihat tanggal pemberangkatan, 28 Juni 2013.

“Tidak secepaat itu anaaak mudaaa” Lupi terkekeh “Masih empat bulan lagi, jangan seneng dulu hahaha”

gak biasanya penugasan dengan masa tunda selama ini, biasanya paling lama dua bulan untuk persiapan tapi ini empat bulan hheewww

Tunggu dikau pulau pisang, kita akan segera berjumpa hehehe

Jalan #1

Cuaca siang itu sangat terik, sangat terik! mungkin perlu penekanan dengan tanda kutip, cetak miring dan garis bawah untuk menegaskan bahwa siang itu matahari mengerahkan sedikit tenaga ekstra untuk membuat siapapun yang berdiri tanpa pelindung di luar ruangan akan merasa seperti sedang di sangrai hidup – hidup. Saya bersama beberapa orang lain sedang berdiri menunggu bis AKDP yg biasa melewati jalan lintas di daerah Lampung Selatan ini. Saya sedang berada di daerah Masgar, sekitar 60 menit dari Kota Tanjung Karang, Lampung. Lima belas menit berdiri, sebuah bis AKDP tampak di kejauhan, tangan perempuan berjilbab di depan saya melambai bis pun memelankan lajunya dan berhenti tepat di depan kami. Suasan di dalam bis sudah penuh sesak, isinya rata – rata adalah orang keturunan Jawa yang sudah menetap sebagai transmigran di Lampung, maka tak heran klo percakapan di dalam bis di dominasi dengan logat totok bahasa Jawa. Yang tersisa kosong hanyalah lorong tengah antara kursi penumpang, empat orang yang baru saja naik, termasuk saya, mengisi lorong tersebut, berdiri sambil memegang batang besi bulat yang memanjang sepanjang atap bis.

Sekitar lima menit berjalan, bis masuk ke sebuah SPBU, mengantri di belakang pick up colt diesel. Seorang penjaja es berteriak – teriak menjajakan es krim produksi rumahan yang di kemas dalam gelas plastik sambil bergelantungan di pintu bis, seorang bapak berteriak dari balik pintu memanggil tukang es, segelas es krim bertukar tempat dengan selembar dua ribuan dari tangan si bapak. Sejenak hanya terdengar obrolan – obrolan dari para penumpang dan desah nafas ibu – ibu yang tertidur di pojok belakang bis, tiba – tiba pundak saya disentuh dengan tepukan pelan, saya menoleh ke belakang, seorang pemuda usia belasan meminta izin untuk lewat, ia kemudian berdiri di depan pintu bis tanpa turun, memanggil si tukang es yang mulai berjalan menjauh. Selintas saya melihat ke arah si pemuda, jeans hipster sedikit melorot dengan tutup kantong belakang dengan ukuran yang menurut saya sangat ekstrim, jaket hoodie berwarna dasar hitam dengan pola berulang berwarna hijau. Saya sebentar tertegun dan membayangkan diri saya dalam pakaian itu, saya bisa membayangkan betapa tersiksanya saya, bayangkan, dengan t-shirt tipis, jeans dengan potongan regular fit dan sendal jepit seperti ini saja saya sudah mengutuk – ngutuk hari dengan panasnya yang tidak bersahabat, apalagi jika saya harus menggunakan tambahan jaket hoodie yang entah terbuat dari bahan apa, sangat tidak terbayang jika ternyata jaket tersebut terbuat dari bahan polyester yang sangat tidak bersahabat bagi cuaca tropis. Plus celana hipster yang sangat ketat di bagian bawah, gerah dan pasti risih. Saya tersadar saat si pemuda sudah berbalik badan dan memegang segelas es krim produksi rumahan itu. Ia kembali meminta izin lewat menuju kursinya.

Mata saya tertuntun untuk melihat si pemuda, saya bisa melihat ia bersama seorang teman, saya tidak bisa jelas melihat pakaian sang teman, tapi dari kesamaan gaya rambut mereka yang menyembul di balik sandaran kursi bis, saya bisa menebak klo gaya berpakaian mereka serupa. Gaya rambut mereka berpotongan seperti Andhika (vokalis Kangen Band) berwarna sedikit kemerahan, entah warna tersebut dihasilkan dari pewarna rambut atau akibat dari terjemur matahari. Mereka berbincang – bincang, tertawa kecil. Bis yang kami tumpangi kembali berjalan, si ibu di pojok terbangun karena bis menghentak lubang yang ada di jalan keluar SPBU. Perhatian saya masih tertuju ke arah si pemuda bersama temannya, terlihat sangat percaya diri dengan semua atribut yang melekat pada tubuhnya, tidak perduli banyak yang beranggapan gaya itu sering diasosiasikan dengan gaya dandanan yang norak atau kampungan.

Irama monoton laju mesin yang sesekali di selingi suara derak dan decit tiba – tiba berganti, sang supir menyalakan tape dek yang dipasang tepat di atas kepalanya. Saya tau lagu ini, saya tau siapa penyanyinya, saya tau video klip musiknya bahkan saya sangat jelas mampu mengingat wajah sang vokalis. Sekilas saya melihat si pemuda bersama temannya menggoyang – goyangkan kepala tanda mereka menyukai dan sangat familiar dengan musik yang diputar si sopir. Musik berirama mendayu dengan lirik yang seadanya dan komposisi musik secukupnya. Musik yang juga diasosiasikan dengan gaya dandan si pemuda, juga di asosiasikan sebagai musik kampungan. Bahkan banyak musisi – musisi lain yang menilai musik seperti ini hanyalah sampah, musik tak layak dengar dan sebagainya, belum lagi para analis yang menilai bahwa musik seperti ini dibuat hanya utuk memenuhi keinginan industri. Okelah saya tidak ingin terlalu jauh bicara tentang musik ini itu dan tetek bengeknya, saya bukan musisi, hanya penikmat yang tidak fanatis terhadap satu aliran musik saja. Saya hanya merasa kasian kepada orang – orang seperti si pemuda, dicap kampungan (dengan konotasi yang jelek, walaupun pada dasarnya memang orang kampung, sayapun juga orang kampung) bahkan sekarang diberi label alay dengan segala definisinya (sejauh yang saya baca tidak ada definisi positif untuk alay) siapa kita yang berhak untuk menilai orang lain? atas dasar apa kita boleh menilai perilaku seseorang? atas dasar apa kita bisa mengatakan bahwa kita jauh lebih superior dibanding orang – orang tersebut?

Tiba di terminal rajabasa, saya kembali melihat beberapa orang dengan dandanan persis seperti pemuda di dalam bis tadi. Tiba – tiba saja rasanya tubuh saya seperti berada di dalam oven membayangkan pakaian mereka di cuaca yang seterik ini. Tapi mereka terlihat santai, berjalan melintasi terminal yang gersang sambil membawa beberapa tas dengan ukuran lumayan besar. Ingin rasanya saya tawarkan minuman botol ber-ion milik saya kepada mereka, saya takut mereka dehidrasi 🙂 tentu saja niat itu tidak saya lakukan. Mata saya melirik jam tangan, pukul empat lewat dua puluh sore hari, saya harus bergegas. Bis yang akan membawa saya menyebrang selat sunda menuju tempat penugasan yang baru di daerah Jakarta Timur akan berangkat pukul lima sore ini. Semua yang berawal akan berakhir, dan setiap akhir akan membawa awal baru. Semoga.

Kebun Rambutan

Kebun rambutan ini semakin mengecil setiap tahun, bukan karena aku yang bertumbuh besar tapi karena selalu saja ada bangunan baru yang mengharuskan beberapa pohon rambutan merelakan kehidupan mereka untuk beton – beton itu. Tahun kemarin kos – kosan sepuluh pintu dibangun di sisi timur kebun ini, tahun ini sebuah rumah type 36 menjadi penghuni baru sisi barat kebun yang berluas kira – kira 1 hektar. Rumah dan kos – kosan itu melengkapi beberapa bangunan lain yang sudah lebih dulu ada sebelumnya, sebuah rumah yang bersisian dengan si rumah baru dan ruko yang berada di sisi selatan yang berhadapan langsung dengan jalan raya. Kebun rambutan ini bukan kebun milik keluarga kami, aku hanya suka melewatinya. Sejak ayah mengajak kami pindah ke sini aku sudah merasa memiliki hubungan spesial dengan kebun rambutan yang berbatasan langsung dengan halaman rumah kami ini. Pertama kali pindah saat kelas 2 SD, keluarga kami di sambut dengan buah – buahnya yang matang memerah, aku tak peduli siapa yang memiliki kebun ini aku berlarian menghambur, memanjat, memetik dan memakan setiap buah yang bisa di raih oleh tanganku. Sekitar seminggu kemudian aku baru mengetahui pemilik kebun ini, orang – orang sekitar memanggilnya dengan sebutan kakek, seorang pria paruh baya berambut perak berperawakan kecil. Ia terkekeh ketika melihat aku memanggul sekantong rambutan sambil berlari pulang. Ia menghampiriku di beranda rumah, tempat aku menumpahkan isi kantong kresekku. Aku yang saat itu sendirian di rumah tidak ambil pusing pada keberadaannya, toh aku rasa seorang kakek tidak akan mampu membahayakanku. Sambil tertawa dia mengatakan akan memanggil polisi untuk menangkap pencuri. Keningku berkerut berusaha mencerna perkataannyam aku menoleh ke kanan kiri, memastikan tidak ada orang lain di sekitar kami apalagi pencuri. Mata si kakek kemudian melirik ke arah buah rambutan yang berserakan di beranda rumah, sesaat kemudian aku baru menyadari bahwa akulah si pencuri yang dimaksud si kakek.

Bukan tanpa alasan ayahku mengajak kami pindah kemari, sebuah kabupaten kecil dengan akses transportasi yang belum terlalu memadai, bayangkan setelah pukul 5 sore jangan harap akan bertemu dengan angkutan umum lagi. Bahkan pasar tradisionalnya masih menggunakan sistem “hari pasaran”. Dalam 10 tahun kedepan, kabupaten ini akan menjadi salah satu kabupaten termaju di provinsi ini, begitu menurut ayah, Ibu dan kami anak – anaknya hanya bisa mengiyakan walaupun itu artinya ibu dan ayah harus bersiap satu jam lebih pagi untuk menuju kantor masing – masing di Kota Palembang. Dari ketiga anak, aku yang paling bisa beradaptasi di sini, aku suka di sini, sepi dan banyak lapangan terbuka tempat bermain walaupun aku harus bermain sendirian. Dua tahun sejak kepindahan, Kakak pertamaku mulai tidak kerasan, Ia yang sudah berada di kelas satu SMA akhirnya dititipkan ke rumah nenek di Bandung dan melanjutkan sekolah di sana. Dua tahun sejak itu giliran kakak perempuanku yang tidak betah. Ayah dan ibu sepakat memindahkan sekolahnya ke Palembang dengan satu syarat, tanpa ngekos atau tinggal di rumah kerabat artinya kakak perempuanku harus bolak – balik sekolah rumah sama seperti ayah dan ibu. Jadilah setiap hari, kecuali sabtu dan minggu, sejak pukul setengah enam pagi hingga lima sore aku menjadi penghuni tunggal di rumah. Rumah, halaman hingga kebun rambutan menjadi medan pertempuranku setiap hari, kejadian seperti itu berlangsung hingga kakak perempuanku menyelesaikan kuliahnya.

Aku lupa kapan terakhir berlari – lari di tengah rimbun kebun ini. Sejak SMA aku sudah jarang berada di rumah, bukan pindah sekolah seperti kakak – kakakku, Tapi lebih karena masa puber yang menyodok – nyodok ingin ditampilkan, ingin mendapat ruang lebih, ingin mendapat kesempatan dipertunjukkan. Jadilah masa SMA aku habiskan di lapangan bola, organisasi siswa intra sekolah dan beberapa kegiatan luar sekolah lain. Ayah suka aku aktif dan ketergantunganku bermain di kebun rambutan berkurang drastis. Aku akui terkadang godaan untuk menyambangi dahan – dahan rapuh pohon rambutan yang mulai tua kadang muncul, hanya saja ego seorang siswa SMA memberikan batasan itu. Kini sudah delapan tahun aku tidak lagi tinggal serumah dengan ayah dan ibu, aku sudah pindah ke kota lain, bukan karena bosan atau tidak betah di kabupaten kecil itu. Tapi panggilan pekerjaan mengharuskan aku berada di seberang lautan. Sedikit banyak ramalan ayah memang terbukti, kabupaten ini berkembang pesat. Setidaknya sejak masuk kuliah aku bisa melihat sendiri perkembangan kabupaten ini, cepat, meninggalkan kabupaten – kabupaten lain, walau harus diakui juga perkembangan ini terasa sangat instan terkesan karbitan, prematur, semakin aku dewasa, semakin aku tidak menyukainya.

Untuk ke delapan kalinya aku menjalani “ritual” mudik lebaran, kerinduan menyesap udara kampung sudah tidak setebal dulu lagi. Tahun – tahun pertama bekerja aku sangat menyukai mudik, kembali ke kampung dengan tradisinya, meresapi kesederhanaan orang – orangnya, berbaur dengan kesahajaan adatnya. Delapan tahun berlalu, kampung ini semakin “kering”. Delapan tahun dan kampung ini berusaha menjadi lebih kota dari kota sendiri. Beberapa tahun yang lalu sepanjang jalan masih dipenuhi dengan pepohonan dan semak. Kini, hutan jenis baru telah menghuni sepanjang jalan, hutan berbatang beton tiga lantai yang menyapa dengan lambaian lembar rolling door-nya. Aku terpaksa tinggal di kota besar karena pekerjaan, aku tetap merindui kerimbunan hutan, cicit burung yang terbang bebas dan menggoda dengan tarian mereka dari atas dahan. Tetap menghasrati hamparan rawa sebagai tempat memancing. Sayangnya para developer itu tidak sependapat denganku, dan pemerintah mengamini hal itu. Hektaran rawa yang menjadi tempat resapan air ditimbun, pemukiman dibangun di atasnya. Bukan hanya satu perumahan, developer lain dapat dipastikan segera menyusul. Kabupaten ini sangat potensial dengan segala kekayaan alamnya, itu kata mereka.

Ayah benar, kabupaten ini maju pesat sampai aku menyadari bahwa salah satu alasan kepindahan kami kemari kurang lebih sama dengan kedatangan para developer itu. Delapan tahun meninggalkan kampung ini, kini aku berdiri diantara pohon – pohon rambutan itu. Memandangi rimbunnya, menghirup aroma kematian dari daun – daun yang mulai menguning, dahan – dahan yang mulai keropos dan akar yang mulai mengering. Dua puluh tiga tahun aku menjadi penghuni kampung ini, menghidupi semua urat dan nadinya, kini aku sadar aku menjadi salah satu racun yang menggerogotinya. Tinggal menungu waktu saja untuk kebun rambutan ini berubah menjadi hutan beton, bergabung bersama hutan beton tiga lantai lain yang telah mulai berdiri beberapa tahun sebelumnya. Mungkin delapan tahun kemudian aku tidak akan melihat lagi satupun dari pohon – pohon rambutan ini. Saat kabupaten kecil ini mulai menyebut dirinya kota.